Hanoman hanya bisa
menangis melihat apa yang terjadi dalam gelaran sejarah negeri Ayodya hari ini.
Negeri yang pernah dibelanya dengan air mata dan darah, negeri hebat dan gilang
gemilang yang dipimpin yang Maha Hebat Sri Rama sang titisan Wisnu sendiri hari
ini begitu kelam oleh arang dan lumut. Namun apa yang bisa dia lakukan, ini
semua sudah seperti suratan… siapa menabur angin dia yang akan menuai badai,
dan saat ini adalah masa ketika badai itu usai! “Maafkan aku Sang Dewi
Sinta…kuasa dunia bukan di tanganku, tapi aku yakin bumi ada dalam genggamanmu
hai wanita agung..laknatlah Sri Rama!” sengguk Hanoman, kera putih bijak yang
kini telah menua renta.
———————————- Bertahun waktu berlalu sejak Sri Rama, Laksmana dan Sinta terpaksa
tinggal dalam pengasingan di kegelapan Hutan Dandaka, suatu ujian terbesar bagi
sang pewaris tahta, ujian akan kebesaran hati. Bersama Laksmana, adik sekaligus
kasim yang setia, Sinta dijaga bersama dari bahaya para siluman dan binatang
hutan. Namun keputihan hati Sinta pula lah yang akhirnya membuatnya terpancing
sang Kijang emas gadungan Kala Marica dan terampaslah Sinta oleh sang durjana
Dasamuka, penguasa Alengkadiraja yang paling ditakuti.
———————————-
Sinta sedang duduk di taman salah satu istana yang diberikan oleh
Rahwana ketika datanglah Hanoman, sang utusan Sri Rama yang datang secara
khusus dari Pancawati untuk melihat situasi Alengka sebelum penyerangan. Selain
untuk mengamati keadaan, Hanoman punya misi lain.
“Siapakah dirimu hai monyet putih?” kata Sinta yang ditemani Trijata,
putri Wibisana.
”Aku Hanoman, utusan Sri Rama yang Agung, aku diserahi tugas untuk menyampaikan pesan bahwa Sri Rama akan datang dan menjemputmu,” jelas Hanoman. ”Namun ada satu hal yang juga diinginkan oleh Sri Rama, dia ingin engkau memakai cincin ini sebagai bukti kalau dirimu masih suci dari sentuhan Rahwana sang angkara.” Mendengar hal itu, menangislah Sinta dalam hening sembari tetap mengulurkan jari dan mencobanya. Cincin itu pas di jari Sinta yang lentik, bukti bahwa dirinya masih suci dan setia.
”Aku Hanoman, utusan Sri Rama yang Agung, aku diserahi tugas untuk menyampaikan pesan bahwa Sri Rama akan datang dan menjemputmu,” jelas Hanoman. ”Namun ada satu hal yang juga diinginkan oleh Sri Rama, dia ingin engkau memakai cincin ini sebagai bukti kalau dirimu masih suci dari sentuhan Rahwana sang angkara.” Mendengar hal itu, menangislah Sinta dalam hening sembari tetap mengulurkan jari dan mencobanya. Cincin itu pas di jari Sinta yang lentik, bukti bahwa dirinya masih suci dan setia.
Tiba-tiba meledaklah hardikan Trijata, “Apa-apaan Rama ini, untuk apa
ini semua, tak percayakah ia pada kekasihnya sampai harus dibuktikan dengan
cincin segala. Sungguh memalukan,” hambur Trijata, sang pendamping Sinta di
Alengka. Trijata sendiri adalah keponakan Rahwana namun membenci Rahwana karena
telah membunuh ayahnya.
“Biarlah Trijata, tak semudah itu lelaki memahami kesetiaan, apalagi ia
adalah penguasa, biarlah ini jadi bukti kesetiaanku yang tak lekang, kembalilah
dan sampaikan pada kekasihku Sri Rama bahwa aku menantinya.” ujar Sinta dengan
lembut. Hanoman pun berbalik ke Pancawati -pos penyerangan mereka- dengan hati
trenyuh.
Akhirnya balatentara Rama dan Sugriwa memang datang dan mampu
menghancurkan Alengka, termasuk Rahwana dan Kumbakarna, sang raksasa patriot
Alengka. Sri Rama dengan langkah tegap teriring panji-panji kemenangan berkibar
menuju Taman Argasoka, tempat Sinta ditahan oleh Rahwana.
Binar mata Sinta tak dapat disembunyikan ketika kembali bertemu belahan
jiwanya, Sri Ramawijaya yang telah berpisah bertahun-tahun. Sayangnya hal itu
tak berlangsung lama.
“Sinta kekasihku, dirimu telah 12 tahun di Argasoka ini, dunia dimana
durjana Dasamuka dapat menyentuh dan menguasaimu, berkenankah dirimu melakukan
satu ujian lagi agar aku yakin akan dirimu?” kata-kata Rama seperti gelegar
petir siang bolong di telinga Sinta. Bahkan Hanoman pun tak percaya mendengar
kata-kata panutannya ini. Pria perkasa yang selama ini begitu bijaksana,
bagaimana mungkin dapat dengan tega meminta sekali lagi ujian kesucian atas
Sinta, bidadari jelita yang telah begitu setia menantinya dan berani menolak
Rahwana sekalipun. ”Apakah tak cukup bukti dengan ujian cincin dahulu?” gusar
Hanoman. Sementara Laksmana hanya diam, karena dari dialah usulan ujian ini
datang.
Dengan hati yang remuk, Sinta menyanggupi ujian apapun itu karena ia
tahu, Rahwana tak pernah menyentuhnya. ”Besok aku akan menyelenggarakan ujian
bakar diri, masuklah ke dalam api yang menyala-nyala, bila memang dirimu masih
suci tentu dewa-dewa akan menyelamatkanmu istriku…” dingin sekali kata-kata
Rama. Sinta merasa hancur mendengarnya, bukan api yang ia takuti melainkan
ketidakpercayaan Rama, satu-satunya pria yang ia cintai selama ini, sampai tega
dua kali memintanya melakukan ujian kesucian. Namun dengan kemantapan hati,
esok harinya Sinta tetap menjalani ujian itu. Dan benar, berkat kesucian Sinta,
Dewa Agni melindunginya dari kobaran api yang menjilat-jilat. Hanoman merasa
sangat malu menatap ujian yang diadakan di tengah alun-alun ini.
Rama dan balatentaranya kembali ke Ayodya membawa Sinta, kemudian Sri
Rama menjadi maharaja Ayodya yang paling Agung. Namun Sinta yang dibawa
bukanlah Sinta yang sama saat diculik Dasamuka di Dandaka. Sinta yang ini
tinggal membawa serpihan hatinya yang telah luluh lantak dihancurkan Sri Rama
sendiri, lelaki yang dipercayainya. Saat itu Sinta berpikir: ”Bahkan Rahwana
jauh lebih terhormat daripada Sri Rama yang agung ini, Rahwana tak pernah memaksa
menyentuhnya, apalagi memaksanya menjadi istri, meski durjana Dasamuka tetap
menjaga kehormatannya, tapi justru suaminya sendiri yang menghinakannya,” air
matanya kembali membasahi negeri Ayodya.
Suatu masa datanglah masa pageblug di Ayodya, mata air mengering, lahan
gagal panen, penyakit meruak di seantero negeri, dan hujan pun tak kunjung
turun. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, seribu, seratus ribu gunjingan muncul
di kalangan rakyat dan bahkan dalam kerabat istana.
”Pasti ini akibat hawa durjana yang dibawa oleh Sinta sepulangnya dari
Alengka!” begitu teriak sang penjual daging di pasar.
”Betul, sebelumnya negeri ini kaya raya, sejak kepulangan Sinta lah semua ini berubah” pekik tukang catut kereta.
”Sinta harus dibuang dari Ayodya!!” teriakan lebih banyak lagi
”Ya, ya, setuju..setuju!” ribuan orang akhirnya bersuara sama.
”Betul, sebelumnya negeri ini kaya raya, sejak kepulangan Sinta lah semua ini berubah” pekik tukang catut kereta.
”Sinta harus dibuang dari Ayodya!!” teriakan lebih banyak lagi
”Ya, ya, setuju..setuju!” ribuan orang akhirnya bersuara sama.
Kabar ini sampai juga ke telinga Maharaja Sri Ramawijaya, membuatnya
gundah antara berpikir ia adalah suami Sinta namun dirinya juga seorang raja
yang harus mendengar kata-kata rakyatnya, sebodoh apapun mereka. Kekuasaannya
tak akan berjalan mulus jika terus dirongrong rakyat dan kalangan pembantunya
yang tak menginginkan Sinta. Maka terjadilah hal yang tak masuk nalar orang
normal….Sri Ramawijaya mengusir Sinta dari istana!
Sinta dengan perut mengandung, sendirian tersaruk-saruk di tengah
hutan, padang rumput, merenangi sungai, untuk melangkah menjauhi istana yang
pernah menjadikannya permaisuri agung. ”Duh….kenapa sampai begini, karena kuasa
dan kecongkakan Rama, segala kesuciaan, kesetiaan, dan cinta yang kuberikan
serasa tak berarti?”
Dalam perjalanan berminggu-minggu, segala kecantikan Sinta lenyap
tertelan buasnya medan pengasingannya yang entah berakhir dimana. Sampai
akhirnya badannya tak sanggup lagi bangun, tenggelam lah Sinta dalam
ketidaksadaran.
Beberapa tahun kemudian, tampaklah Sinta bersama 3 orang sedang
bercengkerama di sebuah pondok di pinggir hutan. Orang pertama adalah Walmiki
sang begawan, dan dua orang muda lain adalah Lawa dan Kusha, putra kembar
Sinta.
Rama dan Ayodya berada
jauh dari sana, setelah Sinta diusir negeri itu tak bertambah baik, Rama berada
dalam kedukaan yang tinggi karena kehilangan Sinta sang bidadarinya namun
membawanya pulang adalah mustahil karena rakyat dan pembantunya tidak menginginkan
Sinta kembali. Rama berubah menjadi seorang raja yang setengah waras seakan
kehilangan nalar dan gila untuk terus berperang sebagai pelampiasannya atas
hilangnya separuh jiwanya dalam diri Sinta yang jelita. Hanoman yang bijaksana
pun telah meninggalkannya dan hidup sebagai pendeta dalam kesunyian.
Sampai pada suatu masa,
dalam gelaran invasi besarnya sampai lah Rama di daerah dimana Walmiki dan
Sinta serta kedua anaknya tinggal. Kedua kekasih lama akhirnya bertatap muka,
masih sama-sama menyimpan kerinduan dan cinta mendalam meski Sinta masih
merasakan luka sayat yang dalam.
”Sinta kekasihku, ini aku Rama, aku datang,” kata Rama.
Sinta tercekat menatap mata Rama, cahaya itu masih ada di kedua orang kekasih itu.
”Untuk apa kau datang Sri Rama, aku sekarang perempuan desa kotor, tak layak bertutur dengan seorang maharaja seperti dirimu,” ujar Sinta berusaha tabah.
”Aku ingin membawamu kembali ke Ayodya”
”Paduka Raja, engkau tak menghendaki kekuasanmu tidak didukung oleh orang kebanyakan, untuk terus di singgasana engkau membutuhkan dukungan banyak orang, dan orang-orang itu tak menghendakiku lagi.”
”Sinta, aku tidak mempertaruhkan cintaku untuk kekuasaan. Marilah ikut aku ke istana, namun sebelumnya bisakah dirimu melakukan satu ujian lagi supaya aku percaya engkau benar-benar suci?”
Sinta tercekat menatap mata Rama, cahaya itu masih ada di kedua orang kekasih itu.
”Untuk apa kau datang Sri Rama, aku sekarang perempuan desa kotor, tak layak bertutur dengan seorang maharaja seperti dirimu,” ujar Sinta berusaha tabah.
”Aku ingin membawamu kembali ke Ayodya”
”Paduka Raja, engkau tak menghendaki kekuasanmu tidak didukung oleh orang kebanyakan, untuk terus di singgasana engkau membutuhkan dukungan banyak orang, dan orang-orang itu tak menghendakiku lagi.”
”Sinta, aku tidak mempertaruhkan cintaku untuk kekuasaan. Marilah ikut aku ke istana, namun sebelumnya bisakah dirimu melakukan satu ujian lagi supaya aku percaya engkau benar-benar suci?”
Seketika kelam menyelimuti petang itu, langit tiba-tiba gelap, tak
tampak lagi cahaya dari Batara Surya, semua mengiringi ledakan kesedihan yang
tak tertahankan lagi di hati Sinta, habis sudah serpihan hatinya dilindas kedukaan
begitu dalam dan menyentak dadanya dengan keras.
”Engkau ternyata tetap tak mampu memisahkan cinta dan keangkuhan Sri
Rama yang Agung, titisan sang Wisnu sendiri. Tak boleh ada noda dalam
kekuasaanmu dan dirimu yang suci ini”
Rama tetap terdiam di atas kudanya, Sinta melanjutkan ucapannya sambil
menahan isakan, bahkan langitpun tak mampu melihat kebesaran hati Sinta dan
kedukaan yang melingkupinya.
”Baiklah maharaja Sri Rama, jika engkau menuntut kesucianku, akan aku
berikan! Demi Dewa Bumi yang melahirkan diriku, biarlah aku ditelan tanah yang
merekah, hilang lenyap selama-lamanya jika diriku memang memenuhi tuntutan
kesucian. Kuucapkan sumpahku ini Rama, untuk menunjukkan betapa kesucian tidak
mungkin diabdikan kepada kuasa keangkuhan!”
Bumi tiba-tiba bergetar hebat, awan di langit berputar-putar, angin
berubah jadi dingin menusuk tulang seusai Sinta mengucapkan sumpahnya. Tanah
dibawahnya merekah, terbelah, dan Sinta melayang ke bawah, tanpa tangis dan
jeritan, tanpa suara.
”Ibuuuu…!!!” hanya teriakan Lawa dan Kusha yang terdengar, sampai
akhirnya bumi menutup kembali.(ll)
Dialog Sinta dan Rama di bagian akhir diambil dari
Kitab Omong Kosong, oleh Seno Gumira Ajidarma, 2006, hal 73.